harianbenua.com
Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani, menekankan perlunya kajian lebih lanjut pasca penghapusan kelas BPJS Kesehatan menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang diwajibkan terhadap rumah sakit.
“Perubahan sistem ini pasti akan memunculkan berbagai konsekuensi bagi masyarakat peserta BPJS Kesehatan. Konsekuensi tersebut tidak hanya terkait keharusan memenuhi kriteria fisik, tetapi juga memastikan ketersediaan tenaga kesehatan dan obat-obatan yang terstandardisasi,” ujar Netty di Jakarta, Selasa (15/5/2024).
Ia menyoroti banyaknya rumah sakit yang belum siap mengimplementasikan KRIS. “Banyak rumah sakit yang tidak siap untuk mengimplementasikan Kelas Rawat Inap Standar karena kemampuan rumah sakit, termasuk cash flow, untuk melakukan penyesuaian. Maka kita minta untuk dilakukan kajian, karena pasti akan ada fenomena-fenomena yang muncul,” imbuhnya.
Penghapusan Kelas BPJS Kesehatan menjadi KRIS merupakan amanat UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diturunkan dalam Perpres Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Namun, implementasinya kerap ditunda oleh Pemerintah karena kesiapan rumah sakit yang masih kurang.
Salah satu konsekuensi yang akan terjadi adalah gejolak di antara peserta BPJS Kesehatan. KRIS ini berarti tidak ada lagi perbedaan antara kelas satu, dua, dan tiga karena setiap kelas akan mendapatkan layanan yang sama dengan kamar yang sama. Netty menyatakan perlu adanya pengkajian terkait Premi BPJS, migrasi peserta, dan insentif untuk rumah sakit swasta.
“Jika semua peserta mendapatkan layanan yang sama, kita harus menghitung atau melibatkan aktuaria untuk menghitung paket INA-CBG. Apakah benar jarum suntiknya, obatnya, alat infusnya itu sama? Jika semua mendapatkan layanan yang sama, perlu kajian apakah Premi BPJS-nya masih sama,” ujarnya.
Migrasi peserta juga menjadi kekhawatiran, karena banyak peserta yang mungkin memilih kelas rendah jika tidak ada perbedaan pelayanan. “Pasti banyak yang berpikir sama-sama bayar premi tapi mendapatkan layanan yang sama, ini bisa mendorong peserta memilih kelas terendah,” jelas Netty.
Selain itu, insentif untuk rumah sakit swasta juga perlu diperhatikan, karena mereka harus melakukan penyesuaian tanpa anggaran dari pemerintah. “Berbeda dengan rumah sakit pemerintah yang mendapatkan anggaran, rumah sakit swasta harus menyesuaikan sendiri fasilitas seperti ruangan, tirai, dan kamar mandi,” tambahnya.
Netty juga menekankan bahwa penerapan KRIS harus memperhatikan ketersediaan tenaga kesehatan dan obat bagi pasien, bukan hanya kriteria fisik fasilitas pelayanan. “Memberikan layanan terbaik bukan hanya soal fasilitas fisik, tetapi juga ketersediaan dokter dan obat-obatan. Ketika kita bicara kesehatan, yang sakit tidak bisa menunggu, yang miskin tidak dapat diabaikan,” tegasnya.